27 Desember 2015

CERBUNG: "Sejak Pertama Kali Bertemu di Jalan Tol" (bagian 1)

“Iya, kamu telepon dulu tukang tendanya… Iyah, benar… Pak Ricky. Bilang saja ditunggu saya di kantor, sebelum makan siang… Yah, bolehlah jam 11 pagi… Oke? Oke. Makasih ya Eko…” Garry menutup teleponnya.

Huh, malas banget hari ini. Hari Sabtu biasanya gua libur. Ini gara-gara acara Grand Launching kantor hari Sabtu depan. Huh!? Garry ngedumel dalam hati. Ia sedang menyetir mobil kantornya, sengaja menjalankannya pelan-pelan, tak sampai kilometer 60, sambil menyalakan lampu dim belok kiri, memasuki jalan tol bebas hambatan ke arah tol Karang Tengah. Tak berapa lama, ada mobil Mazda 2 menyalip dari sebelah kanan mobil Garry. Ia sampai berseru karena kaget, “Woww…” Mobil itu berwarna merah dan terlihat oleh Garry gantungan boneka Baymax dari film kartun 'Big Hero 6' di belakang kaca mobilnya bergoyang-goyang. Garry menggeleng-gelengkan kepala, “Berani juga tuh orang” gerutunya. 

Garry terus mengemudikan mobilnya sampai dengan Rest Area KM 14 menuju pintu tol Karang Tengah. Jalanannya mulai tersendat, alias macet. Garry menghembuskan napas tanpa mengeluarkan suara. Ia meraih telepon genggamnya dan melihat ada e-mail masuk. Ternyata undangan rapat dengan Pak Ricky jam sebelas nanti. Ia menaruh kembali telepon genggamnya, lalu menengok ke kiri dan kanan. Hingga baru menyadari bahwa di depannya adalah mobil Mazda 2 warna merah yang menyalipnya tadi. “Ehh, ketemu lagi…” ujarnya. Boneka Baymax yang tertempel di kaca mobil belakang sekarang terlihat jelas. 

Diam-diam, Garry sedikit memperhatikan mobil tersebut dengan saksama karena kaca film-nya tidak gelap-gelap amat. Ia melihat pengemudinya berambut panjang, sedang mengangguk-anggukkan kepala, seperti sedang mengikuti beat lagu. Mungkin dia lagi mendengarkan lagu cepat, sampai kepalanya ikut-ikutan gitu, batin Garry. Dan ternyata cewek ini sendirian, tidak ada penumpang di samping ataupun belakangnya, lanjutnya dalam hati. Di tengah dashboard, tampak pewangi mobil kaca berbentuk bunga mawar warna merah muda yang anggun. Di kaca belakang mobilnya tertempel stiker “Don’t Worry, Be Happy”. Mungkin ia adalah klien Garda Oto, tebak Garry menyebut slogan perusahaan asuransi tersebut. Selain itu, juga ada stiker logo Mazda di tengah kaca bagian atasnya.

Sekarang, Garry melihat tangan pengemudi mobil Mazda 2 itu sedang memegang roti. Ohh, dia sambil makan rupanya, kata Garry dalam hati. Tiba-tiba saja ia merasa lapar. Maklum, nasib bujang belum menikah. Di rumahnya tidak ada persediaan makanan. Biasa rumah Garry akan dibanjiri makanan ketika orang tuanya berkunjung dari Bandung. Lemari pendinginnya akan dipenuhi tumpukan kotak makan Tupperware, dari makanan manis hingga lauk-pauk yang cukup untuk mengisi perut tiga orang atau dirinya sendiri sampai empat hari ke depan. Yah, namanya juga anak tunggal yang tinggal jauh dari ibukota, sedikit –hanya sedikit lho– dimanjakan. Tapi di kantor Garry terlihat seperti atasan yang sudah berumah tangga. “Mau apa lagi, wong, gua juga sudah nggak muda,” ujarnya pasrah. “Belum ketemu jodoh, bro, semenjak putus sama Icha.”

“Icha, mantan loe yang pramugari itu?”

“Yap, dia…”

“Kenapa emangnya?” tanya atasannya, yang kebetulan juga teman masa kuliah dulu, Andre.

“Keseringan pergi dia. Heran gua, kayak nggak ada pramugari yang lain saja. Dia terus yang pergi. Capai saja gua malam mingguan sendiri terus, seperti long distance relationship gitu. Padahal kagak. Rumah juga dekat, cuma memang jarang ketemu kita. Boro-boro date, ketemu saja mungkin cuma bisa dua kali sebulan.”

“Wah, nggak enak juga ya.”

“Begitulah, Ndre… Kalau kata gua sih, tidak ada prioritas. Susah juga kan kalau gua saja yang fokus, tapi dari sisi dia nggak. Yah, masih muda juga sih, baru lulus kuliah. Akhirnya kita putus…”

“Sori, bro…” ujar Andre prihatin.

“Yah, masa lalu. Setidaknya gua dapat pelajaran kok, jadi nggak sia-sia juga.”

Lamunan Garry terhenti lantaran melihat pengemudi mobil Kijang di sebelah mobil Mazda 2 itu melambai-lambai, seolah-olah seperti mengenal cewek itu. Herannya si pengemudi –cewek Mazda 2 ini– tidak membuka jendelanya sama sekali. Malah terlihat dari kaca belakang, ia cuma menengok ke kiri sebentar lalu kembali menatap lurus ke depan lagi. Deretan mobil Garry pun maju mendahului mobil Kijang. Garry menyempatkan diri melihat penumpang mobil Kijang yang sekarang sudah berada di sebelahnya. Terlihat dua anak muda sedang memperlihatkan ibu jarinya berbarengan. Lalu dari gerak bibirnya menyebutkan, “Cantik, cantik, oke.” Garry merasa sebal, “Dasar kebanyakan gaya loe.” Ia pun memajukan mobilnya lagi mendekati mobil di depannya.

Garry pun semakin mengamati, tapi memang sepertinya cewek ini cantik. Aduh, kaca spionnya menghadap dia dong, Garry berharap dalam hati. Seolah-olah bisa membaca pikirannya, cewek itu memperbaiki kaca spionnya agak ke kanan, jadi lebih mengarah ke dirinya. Sehingga, tak disengaja wajah bagian atasnya terlihat sedikit oleh Garry. Yes, kelihatan. Yeah, I think she’s beautiful. Suka deh melihat matanya. Pipinya. Hidungnya. Rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang. Ia masih makan sepertinya. Garry senyum-senyum sendiri. Syukurlah kaca spion tidak diubahnya lagi. Seketika, mata cewek itu melirik ke kaca spion. Tak dianyar, matanya beradu pandang dengan mata Garry. Wah, ia sedang melirik ke belakang. Garry sempat salah tingkah, walaupun sebenarnya, belum tentu cewek itu melihatnya juga. Buru-buru Garry mengambil telepon genggamnya, lalu memonyongkan mulutnya tanda bersiul. 

Wanita itu memajukan mobilnya kembali. Garry mengikuti. Lalu ia melirik lagi melalui kaca spionnya. Kali ini Garry tetap memandang ke depan. Ia tidak peduli. Ia tetap menatap cewek itu. Mobilnya dimajukan lagi dan Garry mengikutinya agar bisa mendekat. 

Tetap suka dengan matanya. Pipinya. Hidungnya. Rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang.

Tiba-tiba terdengar suara klakson dari mobil belakang, menghentikan lamunan Garry. Sambil berkata, “Iya, iya”, Garry memindahkan gigi mobilnya ke gigi satu, tapi ia pun baru sadar, mobil Mazda 2 belum beranjak. Jadi mobil belakang ini bukan klakson mobil gua. Dari kaca spion mobil di depannya, Garry melihat cewek tersebut menggerakkan tangan kirinya dan memajukan mobil. Ia tersenyum, apakah mungkin cewek ini tidak memperhatikan gara-gara memandangku? Garry tertawa dalam hati. 

Mobil Mazda 2 dan mobil Garry terus seperti itu sampai dengan hendak memasuki pintu tol Karang Tengah. Garry terus mempertahankan posisinya di belakang mobil cewek yang diduganya cantik itu. Dari lampu dim mobil Mazda 2, tampaknya ia hendak memasuki pintu GTO (Gardu Tol Otomatis). 

"Waduh, dia akan masuk ke GTO dan gua tidak punya kartu e-toll," Garry bergumam kecil. Ia mulai celingak-celinguk. Kalau gua nekat masuk, nanti pinjam kartunya siapa? Kan dia di depan bukan di belakang gua. Bisa-bisa gua habis di-klakson orang, dibilang, “Woi, bikin macet saja…” Kalau bayar pintu tol di sebelahnya, wah, nggak deh, belum apa-apa antrinya sudah dua kali antrian pintu GTO. Garry tampak berpikir keras. Sebabnya, ia tidak mau tertinggal dari mobil Mazda 2 ini. 

Tak berapa lama dilihatnya ada orang yang berdiri di tengah-tengah jalan, tak jauh dari pintu tol GTO, mengangkat tinggi-tinggi beberapa buah kartu e-toll. Tanpa pikir panjang, Garry membuka jendelanya dan memanggil orang itu, “Pak… Pak… Jual e-toll ya?”

“Selamat siang, Pak. Iya benar…”

“Berapa?”

“Seratus ribu rupiah saja, Pak.”

Buru-buru Garry mengeluarkan lembaran uang berwarna merah itu. Untung saja dia sempat pergi ke ATM malam sebelumnya. Dan untungnya juga, ia tidak jadi membeli paket nasi McDonalds. “Ini uangnya… Terima kasih ya,” kata Garry buru-buru, sambil tangannya menekan tombol power window ke atas. Sampai-sampai tak terdengar ucapan terima kasih dari orang penjual e-toll tersebut. 

Garry menancap gas, terus mendekati mobil Mazda 2 di depannya. Ia sempat diselak satu mobil sedan. Garry sibuk menyalakan lampu jauhnya, seperti memberi tanda, “Woi, minggir dong. Pindah… Pindah…” Mungkin merasa terganggu, mobil sedan tersebut belok mendadak ke kanan jalan. Akhirnya Garry dapat memajukan mobilnya lagi, kembali ke posisi awal sepanjang jalan tol tadi. 

Garry melihat jendela mobil Mazda 2 terbuka. Terlihat tangan cewek terjulur keluar dari jendela. Tangannya kecil, ia mengenakan gelang emas yang tipis. Cewek tersebut sempat memajukan wajahnya sedikit, sehingga terlihat dari samping oleh Garry. Hidungnya mancung. Tapi hanya sekilas. Kemudian pintu palang terbuka dan mobil tersebut melaju cepat. Garry menurunkan jendela mobilnya dan menempelkan kartu e-toll yang baru dibelinya ke mesin GTO. Ia menunggu, sesaat kemudian palangnya pun terbuka. Ia langsung melaju kencang, berniat mengebut demi mengejar mobil Mazda 2 tadi. 

Sayangnya, Garry menemukan mobil tersebut sudah berada di pintu keluar tol Kembangan. Garry telat seperdetik saja. Ia tidak bisa berbelok ke kiri karena bukan itu tujuannya. Akhirnya Garry menuju ruas jalan paling kiri, dan berjalan sedikit pelan, tidak lagi kesetanan seperti tadi. Ia hanya bisa melihat mobil berwarna merah itu berbelok ke kiri, kemudian hilang dari pandangan. Garry merasa kecewa. Ia mengemudikan mobilnya di jalan tol dengan perlahan. “Wah, hilang sudah… Apakah bisa bertemu lagi ya?” katanya pelan.

SATU MINGGU KEMUDIAN

Garry meninggalkan rumahnya untuk bekerja kembali. Bedanya hari ini, ia antusias, juga membawa harapan. “Jam yang sama seperti minggu lalu. Mudah-mudahan ketemu lagi,” ujarnya dengan suara cukup keras, bagaikan seorang sedang berjanji. 

Memasuki jalan yang sama, dengan cermat ia melihat ke kanan dan ke kiri dari balik kemudinya. Ia pun juga tidak berjalan cepat-cepat, santai saja. Gila, seminggu ini cewek itu nggak bisa gua lupain. Mobil Mazda 2. Matanya. Pipinya, hidungnya, rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang. Lalu tangannya yang kecil. Gua memikirkannya terus. Kenapa ya? Apa dia jodoh gua? Suara hati Garry bicara cukup keras. Jantungnya pun sampai berdegup kencang, sambil menyetir mobilnya, sampai dengan tampak olehnya jalanan macet di depan. “Hah!? Gara-gara bayar tol nih,” keluhnya, tapi ia mengikuti juga antrian panjang kemacetan tersebut. Di saat sedang mengantre, sekilas Garry melirik kaca spionnya. Sungguh kaget bukan kepalang, di belakang adalah cewek si Mazda 2 merah itu...


---Bersambung---

17 Desember 2015

PAIN IN THE NECK

Mengambil judul dari sebuah idiom Amerika: "Pain in the neck," yang artinya "If someone is very annoying and always disturbing you, they are a pain in the neck. Pain in the butt, or pain in the ass." 

Untuk kasus saya adalah tubuh saya, my health condition. Ketika dirawat inap di Siloam Hospitals Lippo Village tanggal 14-15 Desember 2015 lalu, akibat sakit vertigo infeksi telinga, ada beberapa pelajaran yang saya peroleh dari peristiwa ini.

Pertama, Bahwa kita tidak bisa membohongi tubuh sendiri.
Selasa lalu, tepatnya tanggal 8  Desember 2015, saya sempat dilarikan ke UGD (Emergency/Unit Gawat Darurat) oleh teman kantor karena kepala saya berputar tak keruan. Alangkah terkejutnya saya didiagnosa dokter, "Ibu terkena vertigo." What!? Saya resmi punya vertigo sekarang? Padahal saya sudah punya penyakit asma, tekanan darah rendah, mengapa ini jadi bertambah? Kemudian, dokter meminta saya untuk rawat inap, tapi saya menolak. Masa gara-gara sakit vertigo sampai dirawat inap segala. Akhirnya saya diperbolehkan pulang dengan obat resep dokter. 

Berjalannya waktu, ternyata bertambah buruk. Puncaknya adalah pada hari Jumat (11 Desember 2015), saya mengalami gempa. Tapi hanya diri saya saja. Saya lihat sekeliling, bahkan air di botol minum pun tidak bergoyang sama sekali. Saya terpaksa ijin tidak masuk kantor hari itu. Merasa tidak enak, hari Seninnya saya memutuskan masuk kantor. Saya masih dapat bekerja, hingga pukul tiga sore, dunia saya berputar lagi. Saya sempat menyender dan memejamkan mata di pantry kantor, tapi sepertinya tidak terlalu berguna. Karena setiap orang yang lewat bertanya, "Kamu kenapa?" (yang sebenarnya ini bentuk perhatian dari mereka). Sampai saya tidak tahan lagi. Pada jam empat sore, saya dibawa kembali ke UGD. Kali ini saya pasrah. Alhasil, saya dirawat inap selama satu malam dan diharuskan istirahat satu minggu kemudian.

Sayalah penyebab semua ini. Seolah-olah saya berpikir akan kuat, memperlakukan tubuh ini layaknya kondisi normal. Padahal tidak, saya sedang sakit. Terkadang kita suka berpikir, "Tinggal sedikit lagi, perut saya dapat menahannya... Setengah jam lagi baru tidur, karena nanggung ini film-nya.... Seminggu ini belum berolahraga, tapi pasti saya bisa naik gunung atau jalan jauh..." 

Bukannya tidak bisa, namun terkadang, kita memforsir tubuh sendiri untuk bisa mengikuti pikiran kita, rencana, aktivitas, dll. Hentikan... Anda mulai mengganggu diri sendiri! Mobil saja perlu beristirahat, padahal cuma sebuah mesin. Jangan paksa lagi... Dengarkan tubuh Anda. Karena Anda sedang tidak dibohongi di sini. Sayangi diri sendiri. Jangan sampai tumbang baru paham. Ini namanya "Kepalang tanggung," bukan "Mencegah lebih baik dari mengobati."

Kedua, Tidak memanjakan diri sendiri.
Saya paham, hal yang kedua ini terkesan kontradiktif dengan perihal pertama. Tapi ijinkan saya menjelaskannya. 

Kembali ke kisah saya di UGD, saya akui kurang bersabar waktu itu. Saya sedikit mendesak perawat untuk segera mendatangkan dokter. Dokter spesialis saraf akhirnya datang dua jam kemudian, baru saya dipindahkan ke kamar. Saya menempati kamar 857 bersama dengan seorang wanita yang baru saja selesai dioperasi siang harinya. Saya ditemani orang tua, adik, adik ipar saya. Dan disinilah saya jadi sedikit "manja" terhadap mereka. "Pusing... Dingin... Mau nonton, apakah bisa berikan saya remote control televisinya? Belum makan, lapar (memang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam)." Lalu, karena tidak ada yang menemani saya malam harinya, saya mulai beberapa kali menekan tombol "Nurse Call" dan mengeluhkan, "Tidak bisa tidur, sus... Salah bantal..." Apakah Anda membacanya dengan mencibir? Yah, saya sedang mengeluh. Saya sedang manja... 

Tak dipungkiri, ketika dirawat inap, kita sebagai pasien memang merasakan sakit dan rasa tidak nyaman di sekujur tubuh. Walaupun kepala saya yang didagnosis sakit, tapi entah kenapa, bagian tubuh lain, seperti paha, leher, tangan, juga ikut merasakan nyeri. Seumpama tubuh ini mati rasa, membatasi ruang gerak saya yang biasanya dapat saya lakukan sendiri... 

Saya bersyukur sempat mengobrol dengan teman sekamar saya di pagi harinya ketika kami breakfast -Anda ingat, wanita yang habis dioperasi ini?- Ia bercerita, bahwa sudah mulai dirawat inap sejak hari Minggu sore. Dan saat itu, rumah sakit betul-betul sangat sibuk, sampai-sampai semua kebutuhan ibu ini terlambat. Namun hebatnya, ia tidak mengeluh. Ditemani suaminya di kamar, ia yang terus-menerus mengingatkan perawat akan kebutuhannya. Dan menurutnya, selama masih bisa dilakukan sendiri, mengapa tidak?

Waktu mendengar hal itu saya jadi malu... Ya, meski tubuh ini sakit, bukan berarti kita jadi pity self (mengasihani diri sendiri). Bersyukurlah kita sudah dirawat, bersyukurlah untuk tempat tidur yang nyaman, perawat yang baik dan penuh perhatian, teman-teman yang memperhatikan, makanan yang diantarkan, dokter yang mengobati, dll. Semenjak itu saya berhenti pity self... Saya meyakinkan diri sendiri bahwa vertigo ini akan sembuh, tidak akan menghambat aktivitas saya lagi, dan saya akan keluar dari rumah sakit ini segera. Akhirnya, siang hari, setelah diperiksa dokter spesialis saraf, saya diijinkan pulang karena hasil-hasil tes dan kondisi kesehatan saya sudah jauh membaik. 

Jangan ikuti rasa sakit itu... Jangan terus menuruti kehendak yang demikian... Miliki keyakinan Anda akan sembuh dan bisa beraktivitas seperti sediakala lagi. Dan itulah yang saya lakukan sekarang, menulis blog lagi dan melanjutkan kegiatan menulis saya, seperti biasanya.