Saya jadi teringat, terjadi kira-kira beberapa tahun yang lalu, di
mana saya pernah mengikuti audisi untuk menjadi guru menulis di salah
satu sekolah swasta di Jakarta Barat.
Di audisi tersebut, saya
diharuskan mengajar para siswa/siswi kelas 2 SMA (Sekolah Menengah Atas)
berjumlah sekitar 20-25 orang selama setengah jam. Dan karena ini
audisi, saya dinilai langsung oleh Bapak Kepala Sekolah. Tak dianyar,
saya semakin merasa gugup, sehingga mempengaruhi tulisan tangan saya di
papan tulis menjadi sedikit “cakar ayam.”
Saya ajarkan teori-teori
penulisan yang saya tahu. Karena “menulis/mengarang bebas” adalah salah
satu kurikulum yang saya kemukakan di dalam interview dengan Bapak
Kepala Sekolah sebelumnya, saya akhiri “presentasi” dengan pertanyaan,
“Ceritakan apa tujuan kamu di masa depan?” Saya minta para murid
menulisnya di dalam beberapa paragraf, lalu mengumpulkan kembali ke
saya.
Saya memang tidak menjabarkan hasil tulisan mereka di depan
kelas, saya membawanya pulang dan menyimpannya, hingga perpindahan saya
ke rumah baru, di mana saya mendapati semua file tersebut
habis dimakan rayap. Saya bersyukur pernah membacanya. Masing-masing
dari mereka mempunyai tujuan. Ada yang ingin menjadi pemusik, ibu rumah
tangga yang keren, bisa menjalankan bisnis sang ayah, dan seterusnya.
Jujur saja, beberapa tulisan mereka masih terkenang di dalam memori
saya.
Setiap manusia pasti punya tujuan hidup (purpose in life).
Tidak ada tujuan yang kecil atau besar, sebab itulah tujuan hidup.
Kenapa saya berkata begini? Karena itulah tujuan Tuhan menciptakan kita.
Segala yang ada di diri kita ini -dari ujung rambut sampai ujung kaki-
ada maksudnya. So, don’t underestimate yourself. The truth is YOU ARE SOMEBODY…
Namun, segala sesuatunya memang harus dimulai dulu. Ada awal, ada
akhir. Di pepatah yang sama pun, "Terkadang kita perlu untuk mengambil step awal dulu, baru ke belakangnya akan mudah." Saya setuju dengan quote ini.
Karena
TUJUAN HIDUP BUKANLAH DIUKUR DARI KE-SPEKTAKULERAN-NYA, tapi APA YANG
SUDAH KITA LAKUKAN UNTUK HIDUP KITA. Dengan memulainya dari diri
sendiri...
Telah beberapa kali saya dibuat kagum oleh para Office Boy (OB) dan Office Girl
(OG) di perusahaan tempat saya bekerja. Buat saya, mereka luar biasa…
Saya jadi teringat pernah berbincang-bincang dengan salah satu Leader OB, yang biasa dipanggil Jon. Ia pernah mengeluarkan sebuah statement
yang membuat saya kagum. Begini perkataannya, “Saya di sini, walaupun
hanya OB, memang tidak sampai sekolah tinggi, tapi saya tahu yang
namanya kerja keras dengan benar. Walaupun saya tidak berpendidikan,
tapi saya mengerti pekerjaan saya.”
Wow, ia mengerti apa yang
dilakukannya… Mas Jon mengerti apa kepercayaan yang harus dipegangnya,
mana yang tidak. Jujur, di mata saya ia seorang yang besar… Karena ia
tahu tujuannya.
Sekali lagi, besar atau kecilnya tujuan bukanlah
sebuah ukuran. Tidak perlu spektakuler, tapi percayalah itu akan
mengguncang hidup orang lain, paling tidak untuk dirimu sendiri.
Bisa membawa perubahan bagi kehidupan orang lain, itu adalah tujuan. Orang lain mulai mencontoh tingkah laku kita, kebiasaan, habit,
itu adalah tujuan. Menjadi pendengar yang baik, itu adalah tujuan.
Menjadi suami yang menghargai istri dan istri yang tunduk pada suami,
itu adalah tujuan. Menjadi anak yang menurut, hormat, dan berbakti pada
orang tua, itu adalah tujuan.
Tidak perlu spektakuler. Justru
hanya diawali dari sesuatu yang sederhana, namun dengan berjalannya
waktu kok jumlah kepercayaan yang ditaruh ke kita bertambah besar. Ini
bukan semata-mata karena faktor followers atau pengikut, tapi karena tujuan Anda sudah mulai membawa dampak (impact)
bagi orang lain. Yang Anda lakukan mungkin sama, posisi/jabatan Anda
tetap, tidak berubah, namun tujuan Anda mulai dirasakan oleh lingkungan
sekitar.
Saya adalah saksi mata dari banyak contoh seperti itu,
yang awalnya seorang loker koran menjadi Direktur. Yang awalnya seorang
administrasi biasa, sekarang beliau menjabat sebagai Direktur Utama. Dan
bukan mustahil, jika suatu hari nanti, giliran Anda..
Kolom Esai Eve
KOLOM ESAI EVE akan menjadi tempat sharing kita bersama.. Sesuai dengan artinya yaitu: 1.To distribute in portions 2.Experience with others 3.To share a shelter with another 4.To cut, shear, cleave 5.Unselfishly willing to share with others 6.Sharing thoughts & feelings
21 Maret 2017
30 April 2016
Sticking to God Limits
Pernahkah kita merasa kesulitan melakukan sebuah pekerjaan? Atau merasa bahwa pekerjaan tersebut sebenarnya bukan untuk kita, mungkin itu porsi pekerjaan orang lain? Dan akhirnya berujung pada pertanyaan, "Am I fit in here? Am I belong in here?"
2 Korintus 10:12-18 (Message Bible)
“We're not, understand, putting ourselves in a league with those who
boast that they're our superiors. We wouldn't dare do that. But in all this
comparing and grading and competing, they quite miss the point. We aren't making outrageous
claims here. We're sticking to the limits of what God has set for us. But
there can be no question that those limits reach to and include you. We're not moving into someone
else's "territory." We were already there with you, weren't
we? We were the first ones to get there with the Message of Christ, right? So
how can there be any question of overstepping our bounds by writing or
visiting you? We're not
barging in on the rightful work of others, interfering with their ministries,
demanding a place in the sun with them. What we're hoping for is that
as your lives grow in faith, you'll play a part within our expanding work. And
we'll all still be within the limits God sets as we proclaim the Message in
countries beyond Corinth. But we have no intention of moving in on what
others have done and taking credit for it. "If you want to claim credit, claim it for
God." What you say about yourself means nothing in God's work. It's what God says about you
that makes the difference.” (penekanan ditambahkan)
|
Ayat ini membuat saya merenung. Dikatakan di sana, “...We’re sticking to the limits of what God has set for us...” Jadi, seperti posisi di perusahaan, Tuhan selaku atasan kita, telah mengatur atau menetapkan pekerjaan kita sejak semula. Dan di penghujung acara (hasil), tidak/bukan menjadi pertanyaan kalau limit tersebut berhasil kita raih, karena memang itu rencana-Nya dari awal.
Saya teringat dulu ketika bekerja, atasan saya kerap
menggunakan kalimat ini, “Sudah lakukan itu dulu, nanti biar saya yang
memikirkan apa langkah berikutnya.” Dan saya selalu mendahului beliau dengan
mengatakan atau memberikan beberapa ide yang mungkin bisa menjadi bahan
pertimbangan. Tapi akhirnya, itu bukan bagian saya. Atau urusan saya malah... Saya
sudah diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas saya. Apabila saya bisa
mengerjakannya dengan lebih baik atau menyelesaikannya lebih cepat, berarti
saya memaksimalkan potensi saya. Dengan kata lain, saya sedang membuktikan ke diri
sendiri bahwa saya bisa lebih baik daripada saya yang sebelumnya.
Dan kita, tidak di set untuk melakukan pekerjaan orang lain,
atau bahkan mengacak/ mengatur pekerjaan mereka, lalu akhirnya menuntut posisi
yang sama dengan mereka. Karena bukan untuk itu Tuhan menempatkan kita di
pekerjaan tersebut. Ia sudah menetapkan apa pekerjaan kita sejak awal. Sulit atau
tidak. Membosankan atau menyenangkan. Enjoy
or not. Ini proses...
“Jangan habiskan sebagian besar hidup untuk berkompetisi
dengan orang lain. Hidup sampai maksimal adalah berkompetisi dengan diri Anda
sendiri”
–Myles Munroe.
Dulu saya pernah mendengar pengertian breakthrough, yaitu sesuatu yang tidak bisa/belum pernah dilakukan sebelumnya,
sekarang bisa/sudah dilakukan. Contoh, dulu kita termasuk orang yang tidak
pernah berolahraga, tapi sekarang kita menjadi terbiasa untuk berolahraga
setiap hari, tanpa disuruh sekalipun oleh orang lain. Ini adalah breakthorugh...
Saya suka kata ini... Karena apabila dikaitkan dengan ayat
di atas, pekerjaan yang awalnya terkesan sulit untuk dilakukan, bahkan seolah membutuhkan
extra grace untuk melakukannya,
menjadi semakin mudah untuk dilakukan sekarang, bahkan bukan tak mungkin
membuat kita menjadi mahir. Akhirnya, kita membuktikan kepada diri sendiri
bahwa kita baru saja bisa melaluinya.
Inilah pekerjaan yang ditetapkan/ditentukan Tuhan sejak
awal. Tidak ada yang susah untuk dilakukan. Lagipula, memang itu
pekerjaan/tanggung jawab kita sejak awal. Dan seperti atasan saya, Tuhan sangat
tahu kapasitas kita. Justru kitalah yang belum mengetahui kapasitas diri
sendiri. Tapi, apapun yang kita katakan mengenai pekerjaan sendiri tidaklah
penting. Saya suka kata ayat ini, “...It’s
what God says about you that makes the difference.”
Jadi, tidak apa mengalami kesulitan dalam bekerja. Tidak apa
kalau tidak mengerti (di awal) pekerjaan kita. Terus jalani saja. Tidak perlu
mengeluh, menangis, apalagi jadi kasak-kusuk pekerjaan orang lain, buruknya
lagi, membandingkan orang lain dengan diri sendiri. No... Ingat, Anda di sini bukan untuk berkompetisi dengan orang
lain, tapi diri Anda sendiri. Jadikan tiap hari, tiap saat, adalah breakthrough Anda. Lihatlah sesuatu yang
belum Anda lihat sebelumnya. Kerjakan sesuatu yang belum pernah Anda kerjakan
sebelumnya. Kerjakan setiap hari... Pada akhirnya Anda akan tahu kok. Kerennya,
Anda berhasil melaluinya. Dan ini semua bukan karena kehebatan Anda, tapi
bagaimana Tuhan menentukan/menetapkan pekerjaan tersebut sejak mula. Sebabnya,
IA tidak pernah menetapkan standar yang biasa-biasa saja, selalu luar biasa,
yang melebihi pikiran kita sendiri.
So, don’t stress out,
my friends... Just enjoy it... Your journey is fine.
05 Februari 2016
CERBUNG: "Sejak Pertama kali Bertemu di Jalan Tol" (Bagian 3)
---Lanjutan minggu lalu---
DUA MINGGU KEMUDIAN
"Gila, cantik banget dia. Kulitnya putih. Rambutnya diikat samping. Badannya juga langsing. Dan kakinya kecil pula. Tampak cantik dengan sepatu high heels putihnya. Gua harus melakukan sesuatu," Garry bicara sendiri. "Ya, gua harus melakukan sesuatu." Ia pun segera mematikan mesin mobil, merapikan rambut dan kemejanya. Lalu keluar dari mobil, merasa bingung dan sedikit gugup, tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia membuka pintu bagasi mobil, merapikan barang-barang di dalam tas gym yang nyata-nyata tidak berantakan itu.
Tak berapa lama, Garry mendengar bunyi suara alarm mobil di sampingnya. Garry mendongakkan kepala sejenak. Cewek itu sedang berjalan menuju mobilnya, sambil membuka dompet, merapikan struk kertas dan lainnya. Tiba-tiba angin bertiup agak kencang, membuat rok putih cewek itu tersingkap, juga menerbangkan dua lembar uang berwarna biru. Ia sempat berteriak kecil. Dengan sigap, Garry menangkap uang yang sedang beterbangan itu. Satu lembar berhasil diraihnya, tapi yang satunya lagi membuat Garry sampai merangkak untuk mengambilnya. Ketika dua-duanya berhasil diraih, Garry membalikkan badan. Dan ternyata, cewek itu sudah berdiri tak jauh dari mobil Garry. Ia sudah merapikan rambut dan roknya. "Wah, terima kasih," ia tersenyum lembut.
Garry berjalan mendekatinya hingga mereka berhadapan sekarang, "My pleasure..."
"Thank you sampai dikejar gitu..."
"Hahaha... Tidak apa. Anginnya memang sedikit nakal ya."
"Iyah nih," balasnya.
"Ini uang kamu." Garry menyerahkan dua lembar yang dikejarnya dengan susah payah tadi kepada tangan kecil cewek itu. Sekilas, ia mencium harum bunga mawar. Harum sekali dia, ujar Garry dalam hati.
Cewek itu mengambil dengan lembut uangnya, mencoba memasukkannya ke dalam dompet, sambil berujar, "Oke. Sekali lagi terima kasih ya. Yukk duluan..."
Garry, dia akan berlalu. Ayo pikirkan sesuatu. Lakukan sesuatu, lakukan sesuatu! Cepat! Perintah dirinya sendiri dalam hati. Garry lalu memanggilnya, "Tunggu." Cewek tersebut sudah membuka pintu mobilnya. Tercium oleh Garry semerbak wangi bunga mawar.
"Yah?" tanya cewek itu.
"Sori, tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Cewek itu terdiam sejenak, lalu menjawab "Hmm, sepertinya belum."
"Oh gitu ya, sori... Soalnya saya merasa seperti pernah melihat kamu," ujar Garry berdusta.
"Hmm..." Cewek itu merapikan rambutnya sejenak, lalu melihat sekilas mobil Garry. "Tapi saya pernah lihat mobil kamu sebelumnya."
"Mobil saya?"
"Iyah, beberapa kali malah," katanya sambil tersenyum.
"Oh ya?"
"Yah, mobil Suzuki Outlander warna putih dengan stiker setengah badan Baymax yang sedang melambai. Di belakang kaca mobil kamu..." Garry tersentak dengan ucapan cewek itu. "Saya sangat suka film Big Hero 6. Yah, kamu bisa melihatnya juga kan?" lanjutnya, menunjuk gantungan boneka Baymax yang telah beberapa kali menjadi penunjuk Garry.
Garry tersenyum. Ia pun menoleh ke kaca belakang mobilnya, karena apa yang dikatakan cewek ini sangat tepat. Dilihatnya cewek tersebut masih tersenyum padanya. "Sama... I love Big Hero 6 so much... Soalnya saya juga agak sedikit nerd," ujar Garry akhirnya berhasil mengeluarkan suara setelah terdiam beberapa detik tadi. Mereka tertawa berbarengan.
"Yeah, saya nerd versi baca buku," ujar cewek itu tersenyum.
"Dan saya nerd versi teknologi. Berhubungan dengan pekerjaan sebagai EO."
"Wow..."
"Dan nggak cuma Big Hero 6. I love all animation movies, 3D, sound effects..."
"Yap, saya juga..."
"Kamu juga?" tanya Garry sambil berjalan mendekati cewek itu.
"Yes, I do... Tapi sori saya harus jalan sekarang. Sudah hampir terlambat pergi les."
"Oh, kamu les ya?"
"Iya, les bahasa Inggris. Yuk duluan ya..." ujar cewek itu masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Garry yang masih berdiri sedikit termangu di sana. Tapi tak berapa lama, cewek itu langsung membuka jendelanya dan memanggil, "Hey, saya baru teringat dimana pernah ketemu mobil kamu? Di Puri Indah. Mau kesana juga?"
Garry tersenyum sumringah. "Yah, begitulah."
"Ok, kita bisa bareng," ujarnya sambil tersenyum.
"Tentu saja." Lalu Garry langsung mengambil kesempatan, sadar bahwa ini waktunya. "Oh ya, saya Garry." Ia menjulurkan tangannya. Cewek itu menjulurkan tangannya menyambut, "Karlin."
"Hi Karlin, nice to meet you." Karlin tersenyum. Garry pun langsung menekan tombol "Unlock" dari kunci mobilnya. Ia bergegas masuk dan duduk di balik kemudi. Ketika hendak memundurkan mobilnya, Garry melihat jari telunjuk Karlin memutar-mutar ke arahnya. Segera Garry menurunkan jendela di kursi sebelahnya, lalu mendengar Karlin berseru, "Garry, ayo, kita beriringan lagi seperti sebelumnya."
Garry tertawa. Ia pun mengikuti mobil Mazda 2 berwarna merah itu, tak terlepas dari pandangannya.
SATU MINGGU KEMUDIAN
"Halo Karlin, sudah siap?" tanya Garry lewat telepon genggamnya.
"Halo... Almost..."
"Hahaha... It's ok, take your time. Sudah di depan rumah kamu."
"Ok. Aku turun sekarang."
"Lho, tadi katanya almost?" kata Garry tersenyum.
"Iyah, hampir selesai menyisir rambut. Dan sekarang tinggal turun..."
"Hehe... Ok, bye..." jawab Garry masih memegang telepon genggamnya. "Bye..." balas Karlin, "Mama aku pergi dulu..." Garry mendengar suara Karlin sedang meminta ijin sebelum menutup teleponnya. Ia langsung merapikan dirinya.
Dilihatnya Karlin keluar mengenakan gaun bermotif bunga. Anggun sekali cewek ini, pujinya dalam hati. Garry pun turun dari mobilnya, sedikit berlari ke arah kursi penumpang untuk membukakan pintu buat Karlin. Garry menyempatkan diri memuji Karlin, "You look beautiful as always, Karlin..." sambil tersenyum.
"Thank you and thank you," jawab Karlin sambil masuk ke mobil putih Outlander Garry.
Garry menutup pintunya pelan, lalu berjalan ke arah pintunya sendiri. Setelah duduk di balik kemudia, ia bertanya, "Siap?"
"Tentu saja. Kamu sudah tahu kan mau kemana," jawab Karlin sambil mengenakan sabuk pengaman."
"Yes, tentu saja..."
"Dan kamu tahu juga kan dimana?" tanya Karlin tersenyum. Garry memandangnya sambil tersenyum juga. "Yes, ma'am. Ke belakang ruko Puri Indah tempat aku tertinggal."
Mereka pun sama-sama tertawa. Garry mulai menjalankan mobilnya, sambil memandang mobil merah Mazda 2 yang terparkir rapi di depan rumah Karlin. Istirahat ya kali ini, aku tidak perlu mengejar-ngejar kamu lagi, kata Garry dalam hati.
---SELESAI---
---SELESAI---
11 Januari 2016
CERBUNG: "Sejak Pertama kali Bertemu di Jalan Tol" (Bagian 2)
---Lanjutan minggu lalu---
SATU MINGGU KEMUDIAN
Garry meninggalkan rumahnya untuk bekerja kembali. Bedanya hari ini, ia sedikit antusias, juga membawa harapan. "Jam yang sama seperti minggu lalu. Mudah-mudahan ketemu lagi," ujarnya dengan suara cukup keras, bagai seorang sedang berjanji.
Memasuki jalan yang sama, dengan cermat Garry melihat ke kanan dan ke kiri dari balik kemudinya. Ia pun juga tidak berjalan cepat-cepat, santai saja. Gila, seminggu ini cewek itu nggak bisa gua lupain. Mobil Mazda 2. Matanya. Pipinya, hidungnya, rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang. Lalu tangannya yang kecil. Gua memikirkannya terus. Kenapa ya? Apa dia jodoh gua? Suara hatinya bicara cukup keras, sampai-sampai bisa terdengar suara degup jantungnya sendiri.
Tak berapa lama, tampak jalanan macet di depan. "Hah, macet!? Pasti gara-gara bayar tol nih," keluh Garry. Dengan terpaksa ia ikuti juga antrian panjang kemacetan tersebut. Di saat sedang mengantre, sekilas Garry melirik kaca spionnya. Sungguh kaget bukan kepalang, di belakang adalah cewek si Mazda 2 merah itu... Garry sampai menoleh ke belakang untuk memastikan penglihatannya. Benar, mobil Mazda 2 cewek itu. Ia langsung membetulkan letak kaca spionnya agar semakin mudah melihat ke belakang. "Yes, that's her... Itu benar-benar dia. Makasih Tuhan. Akhirnya ketemu lagi," soraknya sendiri di dalam mobil.
Setelah itu, tak henti-hentinya Garry melihat kaca spion. Dan sekarang ia seperti diyakinkan, ya, cewek ini memang cantik. Rambutnya sebahu, mengenakan atasan bunga-bunga. Di tangannya ada satu keping CD. Ia sedang menggantinya. Dan kemudian, mengangguk-anggukkan kepalanya. Hahaha, persis seperti minggu lalu. Hanya saja kali ini pemandangannya tepat berada di belakang. Jadi gua bisa melihatnya dengan bebas. Rasa puas membara di hati Garry, membuatnya tak memperhatikan jalan. Ketika melihat ke depan, jarak mobilnya dengan mobil depan sudah cukup jauh. Dengan perasaan malu, ia memajukan mobilnya pelan, namun pandangannya tetap tak lepas dari mobil Mazda 2 di belakang.
Mendekati pintu tol Karang Tengah, Garry melirik kaca spionnya lagi, seumpama seorang gentleman yang membuka jalan bagi gadisnya, demikian Garry menyalakan lampu dim sebelah kanannya, menuju pintu tol GTO paling kanan yang masih sepi. Ia senang sang gadis mengikutinya begitu saja.
Garry sengaja membuka jendelanya kepagian, lalu mengeluarkan wajahnya untuk dapat melihat ke belakang. Tatapan matanya bertepatan dengan pandangan mata cewek itu. Garry sempat tersenyum sekilas, lalu menempelkan kartu e-toll ke mesin GTO. Ketika pintu palang terbuka, Garry melajukan mobilnya, namun tidak cepat-cepat. Ia sedang menunggu mobil merah di belakang. Tak berapa lama ia melihat pintu palang naik, cewek itu berjalan maju. Garry mempersilahkan mobil merah itu melewatinya, kemudian dengan buru-buru ia mendekatkan mobilnya lagi. "Kali ini gua harus tahu dia kemana. Akan gua ikutin," ucap Garry memenuhi rasa ingin tahunya seminggu kemarin.
Mobil merah itu menyalakan lampu dim sebelah kiri, berjalan pelan ke arah pintu keluar tol Kembangan. Garry mengikuti dari belakang. Mobil mereka masih beriringan hingga lampu merah. Lagi-lagi dari belakang, Garry melihat dua orang pengamen mendekati mobil Mazda 2 di depannya. Mereka terus saja memetik gitar bututnya. Padahal dengan jelas Garry melihat tangan cewek tersebut melambai, menadakan 'Tidak.' Tapi dua pengamen itu terus tersenyum. Bahkan mengganti lagunya menjadi, "Cantik... Ingin rasa hati berbisik..." dendangnya dengan suara yang sumbang, tak enak didengar. Merasa kesal melihat kejadian tersebut, Garry menekan klakson, membuyarkan pandangan keduanya, disangka mereka sudah lampu merah padahal belum. Akhirnya, mereka mundur, menjauhi mobil cewek tersebut, menuju mobil di sebelahnya.
Lampu merah pun berubah ke warna hijau. Semua mobil mulai maju sedikit-sedikit, tak terkecuali mobil Garry dan mobil Mazda 2 di depannya. Setelah melewati lampu merah, Garry melihat lampu dim mobil merah berkedip-kedip ke arah kanan, Garry menyalakannya juga. Mereka sudah putar balik, melewati lampu merah Puri Indah, Mal Puri Indah, lalu berbelok di ujung jalan. Di sebelah kiri adalah Carrefour Puri Indah dan di sebelah kanan adalah pintu tol masuk Kembangan. Hmm, mau kemana ya dia? Garry mulai bertanya-tanya dalam hati.
Mendadak, Garry dikagetkan oleh dering telepon genggamnya. Buru-buru ia mengangkat, "Halo?" jawabnya sedikit berteriak.
"Pak Garry, ada dimana? Pak Andre sudah mau sampai, Pak," terdengar suara Eko dari kejauhan.
Garry melihat jam tangannya. Ia sudah melalui perjalanan 15 menit jauhnya dari arah biasa ke kantor. "Saya masih dalam perjalanan, Eko. Tadi sempat terkena macet di pintu tol Karang Tengah," jawab Garry, sambil terus mengikuti mobil Mazda 2 itu hingga masuk ke Perumahan Puri Indah, melewati sekolah Notredame.
"Baik, Pak," jawab Eko sopan.
"Tolong sampaikan permintaan maaf saya. Tapi sebentar lagi saya akan sampai kok."
"Baik, Pak."
"Makasih ya," Garry langsung memutuskan percakapannya dengan Eko. Kali ini, mobil Mazda 2 menyalakan lampu dim kanannya. "Ok, mau belok kanan atau putar balik dia?" Garry bertanya sendiri. Ternyata, putar balik dan kemudian membelokkan setir ke arah kiri. Garry agak mengenali jalan ini. Ini arah ke Pasar Puri. Dulu, ia punya teman yang tinggal di perumahan Taman Permata Buana, tak jauh dari jalanan dan perumahan ini.
Meski telah mengetahui lokasinya dimana, dengan lincah, Garry terus mengikuti mobil cewek itu. Ia merasa seperti sedang konvoi mobil dengan teman-teman prianya, melihat gaya menyetir cewek ini serupa cowok. Kemudian, mobil Mazda 2 telah melewati sekolah Ipeka di sebelah kanannya, berjalan terus, hingga tiba-tiba ia belok kiri mendadak, masuk ke jalan kecil di sebelah Ruko Puri Indah. Garry terhenyak. "Wah, mana bisa gua belok mendadak begitu. Oh no, gua tertinggal lagi dari cewek itu," ucap Garry.
Garry hanya bisa melewati belokan itu dengan muka memelas. Masih terlihat mobil merah itu tengah berbelok ke kiri, tepat di belokan pertamanya. Garry terpaksa terus berjalan lurus, menuju tempat tujuan awalnya, yaitu kantor. Tapi kali ini ia tersenyum lebar. Tidak mengecewakan kok. Setidaknya hari ini gua tahu dia kemana. Pasti ke rumah di belakang ruko ini. Yah, tidak jauhlah dari kantor gua. Sejalan juga kok. Tidak apa, ini kemajuan, batinnya. "We'll see next week," seru Garry sedikit bergelora.
SATU MINGGU KEMUDIAN
Semenjak bangun di pagi hari, Garry sudah seperti orang yang terisi penuh baterainya. Dengan penuh semangat, ia mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya di waktu yang sama dengan minggu lalu, juga dua minggu sebelumnya. Ia yakin, Tuhan akan membantunya kali ini. Lagipula gua sudah tidak masuk kantor lagi kok. Hari ini demi cewek itu, batinnya.
Ia tersenyum sumringah. Minggu lalu sungguh luar biasa. Sudah berhasil mengetahui tujuan cewek itu, acara Grand Opening kantor pun berjalan lancar. Tak habis-habisnya gua dan tim dipuji Andre, pemilik saham, juga pemilik perusahaan, Bapak Jimmy. Hari Sabtu yang indah, suara hatinya bicara puas. "Dan hari ini juga pasti akan menjadi seindah minggu lalu, bahkan lebih baik," teriaknya. Di pikirannya sudah terkumpul banyak rencana. Salah satunya, Garry berencana ke jalanan Puri Indah itu. Dan mungkin saja ia akan berbelok, memasuki jajaran rumah di belakang ruko Puri Indah. Tapi hal itu belum diputuskannya. Takut disangka mau rampok lagi, berhenti di depan rumah orang sembarangan. Atau, dia akan coba masuk ke ruko Puri Indah dan memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu keluar. Yah, lihat nanti sajalah...
Ketika sedang asyik berpikir, Garry terkaget-kaget ada mobil yang menyalipnya dari sebelah kiri. Ia sempat mengeluarkan suara, "Wow..." Tapi langsung ngeh kalau yang melewatinya itu mobil Mazda 2 berwarna merah. Buru-buru ia membuntuti. Mudah-mudahan ini dia, mudah-mudahan, harapnya dalam hati. Dan ternyata benar, ia sudah melihat boneka Baymax yang berayun-ayun cepat, juga stiker mobil 'Don't worry, be happy.' Garry langsung berteriak riang, "Yes, ketemu... Thanks God." Ia pun mulai melongo lewat kaca depan mobilnya, berusaha melihat si pengemudi. Dengan penuh harap, ia akhirnya berujar, "Yes, positive. It's her." Garry terus mendekatkan mobilnya ke mobil Mazda 2 di depan. Kali ini akan gua ikuti terus dia, batinnya berikrar. Tak diduga, mobil Mazda 2 itu menyalakan lampu dim sebelah kiri. "Ow ow, dia mau kemana? Oh, mau ke Rest Area ya. Bagus..." ujar Garry.
Memasuki Rest Area, mobil Mazda 2 itu langsung menyalakan lampu dim sebelah kanan, berbelok ke deretan tempat-tempat makan dan istirahat. Ia melaju pelan, sampai akhirnya memarkirkan mobilnya di depan toko Seven Eleven. Garry melihat di samping mobil merah itu masih kosong, selekas mungkin ia memarkirkan mobilnya di sebelah. Kemudian, Garry melihat pintu mobil Mazda 2 terbuka dan keluar cewek berpakaian dress warna putih lengan panjang. Melihat dari samping jendela penumpangnya, Garry terkesima. "Astaga, ia cantik sekali, sangat cantik malah," gumamnya takjub. Sampai-sampai Garry masih melanjutkan pandangannya dari kaca spion, melihat gaun putih cewek itu beterbangan sedikit tertiup angin. Cewek Mazda 2 itu masuk ke dalam ATM Center yang terletak di belakang mobil mereka.
"Gila, cantik banget dia. Kulitnya putih. Rambutnya diikat samping. Badannya juga langsing. Dan kakinya kecil pula, tampak cantik dengan sepatu high heels putihnya. Gua harus melakukan sesuatu," Garry bicara sendiri. "Ya, gua harus melakukan sesuatu." Ia pun segera mematikan mesin mobil, merapikan rambut dan kemejanya. Lalu keluar dari mobil, merasa bingung dan sedikit gugup, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, ia membuka pintu bagasi mobil, merapikan barang-barang di dalam tas gym yang nyata-nyata tidak berantakan itu.
Tak berapa lama, Garry mendengar bunyi suara alarm mobil di sampingnya. Garry mendongakkan kepala sejenak. Cewek itu sedang berjalan menuju mobilnya, sambil membuka dompet, merapikan struk kertas dan lainnya. Tiba-tiba angin bertiup agak kencang, membuat rok putih cewek itu tersingkap, juga menerbangkan dua lembar uang berwarna biru. Ia sempat berteriak kecil. Dengan sigap, Garry menangkap uang yang sedang beterbangan itu. Satu lembar berhasil diraihnya, tapi yang satunya lagi membuat Garry sampai merangkak untuk mengambilnya. Ketika dua-duanya berhasil diraih, Garry membalikkan badan. Dan ternyata, cewek itu sudah berdiri tak jauh dari mobil Garry...
---Bersambung---
Setelah itu, tak henti-hentinya Garry melihat kaca spion. Dan sekarang ia seperti diyakinkan, ya, cewek ini memang cantik. Rambutnya sebahu, mengenakan atasan bunga-bunga. Di tangannya ada satu keping CD. Ia sedang menggantinya. Dan kemudian, mengangguk-anggukkan kepalanya. Hahaha, persis seperti minggu lalu. Hanya saja kali ini pemandangannya tepat berada di belakang. Jadi gua bisa melihatnya dengan bebas. Rasa puas membara di hati Garry, membuatnya tak memperhatikan jalan. Ketika melihat ke depan, jarak mobilnya dengan mobil depan sudah cukup jauh. Dengan perasaan malu, ia memajukan mobilnya pelan, namun pandangannya tetap tak lepas dari mobil Mazda 2 di belakang.
Mendekati pintu tol Karang Tengah, Garry melirik kaca spionnya lagi, seumpama seorang gentleman yang membuka jalan bagi gadisnya, demikian Garry menyalakan lampu dim sebelah kanannya, menuju pintu tol GTO paling kanan yang masih sepi. Ia senang sang gadis mengikutinya begitu saja.
Garry sengaja membuka jendelanya kepagian, lalu mengeluarkan wajahnya untuk dapat melihat ke belakang. Tatapan matanya bertepatan dengan pandangan mata cewek itu. Garry sempat tersenyum sekilas, lalu menempelkan kartu e-toll ke mesin GTO. Ketika pintu palang terbuka, Garry melajukan mobilnya, namun tidak cepat-cepat. Ia sedang menunggu mobil merah di belakang. Tak berapa lama ia melihat pintu palang naik, cewek itu berjalan maju. Garry mempersilahkan mobil merah itu melewatinya, kemudian dengan buru-buru ia mendekatkan mobilnya lagi. "Kali ini gua harus tahu dia kemana. Akan gua ikutin," ucap Garry memenuhi rasa ingin tahunya seminggu kemarin.
Mobil merah itu menyalakan lampu dim sebelah kiri, berjalan pelan ke arah pintu keluar tol Kembangan. Garry mengikuti dari belakang. Mobil mereka masih beriringan hingga lampu merah. Lagi-lagi dari belakang, Garry melihat dua orang pengamen mendekati mobil Mazda 2 di depannya. Mereka terus saja memetik gitar bututnya. Padahal dengan jelas Garry melihat tangan cewek tersebut melambai, menadakan 'Tidak.' Tapi dua pengamen itu terus tersenyum. Bahkan mengganti lagunya menjadi, "Cantik... Ingin rasa hati berbisik..." dendangnya dengan suara yang sumbang, tak enak didengar. Merasa kesal melihat kejadian tersebut, Garry menekan klakson, membuyarkan pandangan keduanya, disangka mereka sudah lampu merah padahal belum. Akhirnya, mereka mundur, menjauhi mobil cewek tersebut, menuju mobil di sebelahnya.
Lampu merah pun berubah ke warna hijau. Semua mobil mulai maju sedikit-sedikit, tak terkecuali mobil Garry dan mobil Mazda 2 di depannya. Setelah melewati lampu merah, Garry melihat lampu dim mobil merah berkedip-kedip ke arah kanan, Garry menyalakannya juga. Mereka sudah putar balik, melewati lampu merah Puri Indah, Mal Puri Indah, lalu berbelok di ujung jalan. Di sebelah kiri adalah Carrefour Puri Indah dan di sebelah kanan adalah pintu tol masuk Kembangan. Hmm, mau kemana ya dia? Garry mulai bertanya-tanya dalam hati.
Mendadak, Garry dikagetkan oleh dering telepon genggamnya. Buru-buru ia mengangkat, "Halo?" jawabnya sedikit berteriak.
"Pak Garry, ada dimana? Pak Andre sudah mau sampai, Pak," terdengar suara Eko dari kejauhan.
Garry melihat jam tangannya. Ia sudah melalui perjalanan 15 menit jauhnya dari arah biasa ke kantor. "Saya masih dalam perjalanan, Eko. Tadi sempat terkena macet di pintu tol Karang Tengah," jawab Garry, sambil terus mengikuti mobil Mazda 2 itu hingga masuk ke Perumahan Puri Indah, melewati sekolah Notredame.
"Baik, Pak," jawab Eko sopan.
"Tolong sampaikan permintaan maaf saya. Tapi sebentar lagi saya akan sampai kok."
"Baik, Pak."
"Makasih ya," Garry langsung memutuskan percakapannya dengan Eko. Kali ini, mobil Mazda 2 menyalakan lampu dim kanannya. "Ok, mau belok kanan atau putar balik dia?" Garry bertanya sendiri. Ternyata, putar balik dan kemudian membelokkan setir ke arah kiri. Garry agak mengenali jalan ini. Ini arah ke Pasar Puri. Dulu, ia punya teman yang tinggal di perumahan Taman Permata Buana, tak jauh dari jalanan dan perumahan ini.
Meski telah mengetahui lokasinya dimana, dengan lincah, Garry terus mengikuti mobil cewek itu. Ia merasa seperti sedang konvoi mobil dengan teman-teman prianya, melihat gaya menyetir cewek ini serupa cowok. Kemudian, mobil Mazda 2 telah melewati sekolah Ipeka di sebelah kanannya, berjalan terus, hingga tiba-tiba ia belok kiri mendadak, masuk ke jalan kecil di sebelah Ruko Puri Indah. Garry terhenyak. "Wah, mana bisa gua belok mendadak begitu. Oh no, gua tertinggal lagi dari cewek itu," ucap Garry.
Garry hanya bisa melewati belokan itu dengan muka memelas. Masih terlihat mobil merah itu tengah berbelok ke kiri, tepat di belokan pertamanya. Garry terpaksa terus berjalan lurus, menuju tempat tujuan awalnya, yaitu kantor. Tapi kali ini ia tersenyum lebar. Tidak mengecewakan kok. Setidaknya hari ini gua tahu dia kemana. Pasti ke rumah di belakang ruko ini. Yah, tidak jauhlah dari kantor gua. Sejalan juga kok. Tidak apa, ini kemajuan, batinnya. "We'll see next week," seru Garry sedikit bergelora.
SATU MINGGU KEMUDIAN
Semenjak bangun di pagi hari, Garry sudah seperti orang yang terisi penuh baterainya. Dengan penuh semangat, ia mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya di waktu yang sama dengan minggu lalu, juga dua minggu sebelumnya. Ia yakin, Tuhan akan membantunya kali ini. Lagipula gua sudah tidak masuk kantor lagi kok. Hari ini demi cewek itu, batinnya.
Ia tersenyum sumringah. Minggu lalu sungguh luar biasa. Sudah berhasil mengetahui tujuan cewek itu, acara Grand Opening kantor pun berjalan lancar. Tak habis-habisnya gua dan tim dipuji Andre, pemilik saham, juga pemilik perusahaan, Bapak Jimmy. Hari Sabtu yang indah, suara hatinya bicara puas. "Dan hari ini juga pasti akan menjadi seindah minggu lalu, bahkan lebih baik," teriaknya. Di pikirannya sudah terkumpul banyak rencana. Salah satunya, Garry berencana ke jalanan Puri Indah itu. Dan mungkin saja ia akan berbelok, memasuki jajaran rumah di belakang ruko Puri Indah. Tapi hal itu belum diputuskannya. Takut disangka mau rampok lagi, berhenti di depan rumah orang sembarangan. Atau, dia akan coba masuk ke ruko Puri Indah dan memarkirkan mobilnya tak jauh dari pintu keluar. Yah, lihat nanti sajalah...
Ketika sedang asyik berpikir, Garry terkaget-kaget ada mobil yang menyalipnya dari sebelah kiri. Ia sempat mengeluarkan suara, "Wow..." Tapi langsung ngeh kalau yang melewatinya itu mobil Mazda 2 berwarna merah. Buru-buru ia membuntuti. Mudah-mudahan ini dia, mudah-mudahan, harapnya dalam hati. Dan ternyata benar, ia sudah melihat boneka Baymax yang berayun-ayun cepat, juga stiker mobil 'Don't worry, be happy.' Garry langsung berteriak riang, "Yes, ketemu... Thanks God." Ia pun mulai melongo lewat kaca depan mobilnya, berusaha melihat si pengemudi. Dengan penuh harap, ia akhirnya berujar, "Yes, positive. It's her." Garry terus mendekatkan mobilnya ke mobil Mazda 2 di depan. Kali ini akan gua ikuti terus dia, batinnya berikrar. Tak diduga, mobil Mazda 2 itu menyalakan lampu dim sebelah kiri. "Ow ow, dia mau kemana? Oh, mau ke Rest Area ya. Bagus..." ujar Garry.
Memasuki Rest Area, mobil Mazda 2 itu langsung menyalakan lampu dim sebelah kanan, berbelok ke deretan tempat-tempat makan dan istirahat. Ia melaju pelan, sampai akhirnya memarkirkan mobilnya di depan toko Seven Eleven. Garry melihat di samping mobil merah itu masih kosong, selekas mungkin ia memarkirkan mobilnya di sebelah. Kemudian, Garry melihat pintu mobil Mazda 2 terbuka dan keluar cewek berpakaian dress warna putih lengan panjang. Melihat dari samping jendela penumpangnya, Garry terkesima. "Astaga, ia cantik sekali, sangat cantik malah," gumamnya takjub. Sampai-sampai Garry masih melanjutkan pandangannya dari kaca spion, melihat gaun putih cewek itu beterbangan sedikit tertiup angin. Cewek Mazda 2 itu masuk ke dalam ATM Center yang terletak di belakang mobil mereka.
"Gila, cantik banget dia. Kulitnya putih. Rambutnya diikat samping. Badannya juga langsing. Dan kakinya kecil pula, tampak cantik dengan sepatu high heels putihnya. Gua harus melakukan sesuatu," Garry bicara sendiri. "Ya, gua harus melakukan sesuatu." Ia pun segera mematikan mesin mobil, merapikan rambut dan kemejanya. Lalu keluar dari mobil, merasa bingung dan sedikit gugup, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, ia membuka pintu bagasi mobil, merapikan barang-barang di dalam tas gym yang nyata-nyata tidak berantakan itu.
Tak berapa lama, Garry mendengar bunyi suara alarm mobil di sampingnya. Garry mendongakkan kepala sejenak. Cewek itu sedang berjalan menuju mobilnya, sambil membuka dompet, merapikan struk kertas dan lainnya. Tiba-tiba angin bertiup agak kencang, membuat rok putih cewek itu tersingkap, juga menerbangkan dua lembar uang berwarna biru. Ia sempat berteriak kecil. Dengan sigap, Garry menangkap uang yang sedang beterbangan itu. Satu lembar berhasil diraihnya, tapi yang satunya lagi membuat Garry sampai merangkak untuk mengambilnya. Ketika dua-duanya berhasil diraih, Garry membalikkan badan. Dan ternyata, cewek itu sudah berdiri tak jauh dari mobil Garry...
---Bersambung---
27 Desember 2015
CERBUNG: "Sejak Pertama Kali Bertemu di Jalan Tol" (bagian 1)
“Iya, kamu telepon dulu tukang tendanya… Iyah, benar… Pak Ricky. Bilang saja ditunggu saya di kantor, sebelum makan siang… Yah, bolehlah jam 11 pagi… Oke? Oke. Makasih ya Eko…” Garry menutup teleponnya.
Huh, malas banget hari ini. Hari Sabtu biasanya gua libur. Ini gara-gara acara Grand Launching kantor hari Sabtu depan. Huh!? Garry ngedumel dalam hati. Ia sedang menyetir mobil kantornya, sengaja menjalankannya pelan-pelan, tak sampai kilometer 60, sambil menyalakan lampu dim belok kiri, memasuki jalan tol bebas hambatan ke arah tol Karang Tengah. Tak berapa lama, ada mobil Mazda 2 menyalip dari sebelah kanan mobil Garry. Ia sampai berseru karena kaget, “Woww…” Mobil itu berwarna merah dan terlihat oleh Garry gantungan boneka Baymax dari film kartun 'Big Hero 6' di belakang kaca mobilnya bergoyang-goyang. Garry menggeleng-gelengkan kepala, “Berani juga tuh orang” gerutunya.
Garry terus mengemudikan mobilnya sampai dengan Rest Area KM 14 menuju pintu tol Karang Tengah. Jalanannya mulai tersendat, alias macet. Garry menghembuskan napas tanpa mengeluarkan suara. Ia meraih telepon genggamnya dan melihat ada e-mail masuk. Ternyata undangan rapat dengan Pak Ricky jam sebelas nanti. Ia menaruh kembali telepon genggamnya, lalu menengok ke kiri dan kanan. Hingga baru menyadari bahwa di depannya adalah mobil Mazda 2 warna merah yang menyalipnya tadi. “Ehh, ketemu lagi…” ujarnya. Boneka Baymax yang tertempel di kaca mobil belakang sekarang terlihat jelas.
Diam-diam, Garry sedikit memperhatikan mobil tersebut dengan saksama karena kaca film-nya tidak gelap-gelap amat. Ia melihat pengemudinya berambut panjang, sedang mengangguk-anggukkan kepala, seperti sedang mengikuti beat lagu. Mungkin dia lagi mendengarkan lagu cepat, sampai kepalanya ikut-ikutan gitu, batin Garry. Dan ternyata cewek ini sendirian, tidak ada penumpang di samping ataupun belakangnya, lanjutnya dalam hati. Di tengah dashboard, tampak pewangi mobil kaca berbentuk bunga mawar warna merah muda yang anggun. Di kaca belakang mobilnya tertempel stiker “Don’t Worry, Be Happy”. Mungkin ia adalah klien Garda Oto, tebak Garry menyebut slogan perusahaan asuransi tersebut. Selain itu, juga ada stiker logo Mazda di tengah kaca bagian atasnya.
Sekarang, Garry melihat tangan pengemudi mobil Mazda 2 itu sedang memegang roti. Ohh, dia sambil makan rupanya, kata Garry dalam hati. Tiba-tiba saja ia merasa lapar. Maklum, nasib bujang belum menikah. Di rumahnya tidak ada persediaan makanan. Biasa rumah Garry akan dibanjiri makanan ketika orang tuanya berkunjung dari Bandung. Lemari pendinginnya akan dipenuhi tumpukan kotak makan Tupperware, dari makanan manis hingga lauk-pauk yang cukup untuk mengisi perut tiga orang atau dirinya sendiri sampai empat hari ke depan. Yah, namanya juga anak tunggal yang tinggal jauh dari ibukota, sedikit –hanya sedikit lho– dimanjakan. Tapi di kantor Garry terlihat seperti atasan yang sudah berumah tangga. “Mau apa lagi, wong, gua juga sudah nggak muda,” ujarnya pasrah. “Belum ketemu jodoh, bro, semenjak putus sama Icha.”
“Icha, mantan loe yang pramugari itu?”
“Yap, dia…”
“Kenapa emangnya?” tanya atasannya, yang kebetulan juga teman masa kuliah dulu, Andre.
“Keseringan pergi dia. Heran gua, kayak nggak ada pramugari yang lain saja. Dia terus yang pergi. Capai saja gua malam mingguan sendiri terus, seperti long distance relationship gitu. Padahal kagak. Rumah juga dekat, cuma memang jarang ketemu kita. Boro-boro date, ketemu saja mungkin cuma bisa dua kali sebulan.”
“Wah, nggak enak juga ya.”
“Begitulah, Ndre… Kalau kata gua sih, tidak ada prioritas. Susah juga kan kalau gua saja yang fokus, tapi dari sisi dia nggak. Yah, masih muda juga sih, baru lulus kuliah. Akhirnya kita putus…”
“Sori, bro…” ujar Andre prihatin.
“Yah, masa lalu. Setidaknya gua dapat pelajaran kok, jadi nggak sia-sia juga.”
Lamunan Garry terhenti lantaran melihat pengemudi mobil Kijang di sebelah mobil Mazda 2 itu melambai-lambai, seolah-olah seperti mengenal cewek itu. Herannya si pengemudi –cewek Mazda 2 ini– tidak membuka jendelanya sama sekali. Malah terlihat dari kaca belakang, ia cuma menengok ke kiri sebentar lalu kembali menatap lurus ke depan lagi. Deretan mobil Garry pun maju mendahului mobil Kijang. Garry menyempatkan diri melihat penumpang mobil Kijang yang sekarang sudah berada di sebelahnya. Terlihat dua anak muda sedang memperlihatkan ibu jarinya berbarengan. Lalu dari gerak bibirnya menyebutkan, “Cantik, cantik, oke.” Garry merasa sebal, “Dasar kebanyakan gaya loe.” Ia pun memajukan mobilnya lagi mendekati mobil di depannya.
Garry pun semakin mengamati, tapi memang sepertinya cewek ini cantik. Aduh, kaca spionnya menghadap dia dong, Garry berharap dalam hati. Seolah-olah bisa membaca pikirannya, cewek itu memperbaiki kaca spionnya agak ke kanan, jadi lebih mengarah ke dirinya. Sehingga, tak disengaja wajah bagian atasnya terlihat sedikit oleh Garry. Yes, kelihatan. Yeah, I think she’s beautiful. Suka deh melihat matanya. Pipinya. Hidungnya. Rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang. Ia masih makan sepertinya. Garry senyum-senyum sendiri. Syukurlah kaca spion tidak diubahnya lagi. Seketika, mata cewek itu melirik ke kaca spion. Tak dianyar, matanya beradu pandang dengan mata Garry. Wah, ia sedang melirik ke belakang. Garry sempat salah tingkah, walaupun sebenarnya, belum tentu cewek itu melihatnya juga. Buru-buru Garry mengambil telepon genggamnya, lalu memonyongkan mulutnya tanda bersiul.
Wanita itu memajukan mobilnya kembali. Garry mengikuti. Lalu ia melirik lagi melalui kaca spionnya. Kali ini Garry tetap memandang ke depan. Ia tidak peduli. Ia tetap menatap cewek itu. Mobilnya dimajukan lagi dan Garry mengikutinya agar bisa mendekat.
Tetap suka dengan matanya. Pipinya. Hidungnya. Rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dari mobil belakang, menghentikan lamunan Garry. Sambil berkata, “Iya, iya”, Garry memindahkan gigi mobilnya ke gigi satu, tapi ia pun baru sadar, mobil Mazda 2 belum beranjak. Jadi mobil belakang ini bukan klakson mobil gua. Dari kaca spion mobil di depannya, Garry melihat cewek tersebut menggerakkan tangan kirinya dan memajukan mobil. Ia tersenyum, apakah mungkin cewek ini tidak memperhatikan gara-gara memandangku? Garry tertawa dalam hati.
Mobil Mazda 2 dan mobil Garry terus seperti itu sampai dengan hendak memasuki pintu tol Karang Tengah. Garry terus mempertahankan posisinya di belakang mobil cewek yang diduganya cantik itu. Dari lampu dim mobil Mazda 2, tampaknya ia hendak memasuki pintu GTO (Gardu Tol Otomatis).
"Waduh, dia akan masuk ke GTO dan gua tidak punya kartu e-toll," Garry bergumam kecil. Ia mulai celingak-celinguk. Kalau gua nekat masuk, nanti pinjam kartunya siapa? Kan dia di depan bukan di belakang gua. Bisa-bisa gua habis di-klakson orang, dibilang, “Woi, bikin macet saja…” Kalau bayar pintu tol di sebelahnya, wah, nggak deh, belum apa-apa antrinya sudah dua kali antrian pintu GTO. Garry tampak berpikir keras. Sebabnya, ia tidak mau tertinggal dari mobil Mazda 2 ini.
Tak berapa lama dilihatnya ada orang yang berdiri di tengah-tengah jalan, tak jauh dari pintu tol GTO, mengangkat tinggi-tinggi beberapa buah kartu e-toll. Tanpa pikir panjang, Garry membuka jendelanya dan memanggil orang itu, “Pak… Pak… Jual e-toll ya?”
“Selamat siang, Pak. Iya benar…”
“Berapa?”
“Seratus ribu rupiah saja, Pak.”
Buru-buru Garry mengeluarkan lembaran uang berwarna merah itu. Untung saja dia sempat pergi ke ATM malam sebelumnya. Dan untungnya juga, ia tidak jadi membeli paket nasi McDonalds. “Ini uangnya… Terima kasih ya,” kata Garry buru-buru, sambil tangannya menekan tombol power window ke atas. Sampai-sampai tak terdengar ucapan terima kasih dari orang penjual e-toll tersebut.
Garry menancap gas, terus mendekati mobil Mazda 2 di depannya. Ia sempat diselak satu mobil sedan. Garry sibuk menyalakan lampu jauhnya, seperti memberi tanda, “Woi, minggir dong. Pindah… Pindah…” Mungkin merasa terganggu, mobil sedan tersebut belok mendadak ke kanan jalan. Akhirnya Garry dapat memajukan mobilnya lagi, kembali ke posisi awal sepanjang jalan tol tadi.
Garry melihat jendela mobil Mazda 2 terbuka. Terlihat tangan cewek terjulur keluar dari jendela. Tangannya kecil, ia mengenakan gelang emas yang tipis. Cewek tersebut sempat memajukan wajahnya sedikit, sehingga terlihat dari samping oleh Garry. Hidungnya mancung. Tapi hanya sekilas. Kemudian pintu palang terbuka dan mobil tersebut melaju cepat. Garry menurunkan jendela mobilnya dan menempelkan kartu e-toll yang baru dibelinya ke mesin GTO. Ia menunggu, sesaat kemudian palangnya pun terbuka. Ia langsung melaju kencang, berniat mengebut demi mengejar mobil Mazda 2 tadi.
Sayangnya, Garry menemukan mobil tersebut sudah berada di pintu keluar tol Kembangan. Garry telat seperdetik saja. Ia tidak bisa berbelok ke kiri karena bukan itu tujuannya. Akhirnya Garry menuju ruas jalan paling kiri, dan berjalan sedikit pelan, tidak lagi kesetanan seperti tadi. Ia hanya bisa melihat mobil berwarna merah itu berbelok ke kiri, kemudian hilang dari pandangan. Garry merasa kecewa. Ia mengemudikan mobilnya di jalan tol dengan perlahan. “Wah, hilang sudah… Apakah bisa bertemu lagi ya?” katanya pelan.
SATU MINGGU KEMUDIAN
Garry meninggalkan rumahnya untuk bekerja kembali. Bedanya hari ini, ia antusias, juga membawa harapan. “Jam yang sama seperti minggu lalu. Mudah-mudahan ketemu lagi,” ujarnya dengan suara cukup keras, bagaikan seorang sedang berjanji.
Memasuki jalan yang sama, dengan cermat ia melihat ke kanan dan ke kiri dari balik kemudinya. Ia pun juga tidak berjalan cepat-cepat, santai saja. Gila, seminggu ini cewek itu nggak bisa gua lupain. Mobil Mazda 2. Matanya. Pipinya, hidungnya, rambutnya walaupun hanya terlihat dari belakang. Lalu tangannya yang kecil. Gua memikirkannya terus. Kenapa ya? Apa dia jodoh gua? Suara hati Garry bicara cukup keras. Jantungnya pun sampai berdegup kencang, sambil menyetir mobilnya, sampai dengan tampak olehnya jalanan macet di depan. “Hah!? Gara-gara bayar tol nih,” keluhnya, tapi ia mengikuti juga antrian panjang kemacetan tersebut. Di saat sedang mengantre, sekilas Garry melirik kaca spionnya. Sungguh kaget bukan kepalang, di belakang adalah cewek si Mazda 2 merah itu...
---Bersambung---
17 Desember 2015
PAIN IN THE NECK
Mengambil judul dari sebuah idiom Amerika: "Pain in the neck," yang artinya "If someone is very annoying and always disturbing you, they are a pain in the neck.
Pain in the butt, or pain in the ass."
Untuk kasus saya adalah tubuh saya, my health condition. Ketika dirawat inap di Siloam Hospitals Lippo Village tanggal 14-15 Desember 2015 lalu, akibat sakit vertigo infeksi telinga, ada beberapa pelajaran yang saya peroleh dari peristiwa ini.
Pertama, Bahwa kita tidak bisa membohongi tubuh sendiri.
Selasa lalu, tepatnya tanggal 8 Desember 2015, saya sempat dilarikan ke UGD (Emergency/Unit Gawat Darurat) oleh teman kantor karena kepala saya berputar tak keruan. Alangkah terkejutnya saya didiagnosa dokter, "Ibu terkena vertigo." What!? Saya resmi punya vertigo sekarang? Padahal saya sudah punya penyakit asma, tekanan darah rendah, mengapa ini jadi bertambah? Kemudian, dokter meminta saya untuk rawat inap, tapi saya menolak. Masa gara-gara sakit vertigo sampai dirawat inap segala. Akhirnya saya diperbolehkan pulang dengan obat resep dokter.
Berjalannya waktu, ternyata bertambah buruk. Puncaknya adalah pada hari Jumat (11 Desember 2015), saya mengalami gempa. Tapi hanya diri saya saja. Saya lihat sekeliling, bahkan air di botol minum pun tidak bergoyang sama sekali. Saya terpaksa ijin tidak masuk kantor hari itu. Merasa tidak enak, hari Seninnya saya memutuskan masuk kantor. Saya masih dapat bekerja, hingga pukul tiga sore, dunia saya berputar lagi. Saya sempat menyender dan memejamkan mata di pantry kantor, tapi sepertinya tidak terlalu berguna. Karena setiap orang yang lewat bertanya, "Kamu kenapa?" (yang sebenarnya ini bentuk perhatian dari mereka). Sampai saya tidak tahan lagi. Pada jam empat sore, saya dibawa kembali ke UGD. Kali ini saya pasrah. Alhasil, saya dirawat inap selama satu malam dan diharuskan istirahat satu minggu kemudian.
Sayalah penyebab semua ini. Seolah-olah saya berpikir akan kuat, memperlakukan tubuh ini layaknya kondisi normal. Padahal tidak, saya sedang sakit. Terkadang kita suka berpikir, "Tinggal sedikit lagi, perut saya dapat menahannya... Setengah jam lagi baru tidur, karena nanggung ini film-nya.... Seminggu ini belum berolahraga, tapi pasti saya bisa naik gunung atau jalan jauh..."
Bukannya tidak bisa, namun terkadang, kita memforsir tubuh sendiri untuk bisa mengikuti pikiran kita, rencana, aktivitas, dll. Hentikan... Anda mulai mengganggu diri sendiri! Mobil saja perlu beristirahat, padahal cuma sebuah mesin. Jangan paksa lagi... Dengarkan tubuh Anda. Karena Anda sedang tidak dibohongi di sini. Sayangi diri sendiri. Jangan sampai tumbang baru paham. Ini namanya "Kepalang tanggung," bukan "Mencegah lebih baik dari mengobati."
Kedua, Tidak memanjakan diri sendiri.
Saya paham, hal yang kedua ini terkesan kontradiktif dengan perihal pertama. Tapi ijinkan saya menjelaskannya.
Kembali ke kisah saya di UGD, saya akui kurang bersabar waktu itu. Saya sedikit mendesak perawat untuk segera mendatangkan dokter. Dokter spesialis saraf akhirnya datang dua jam kemudian, baru saya dipindahkan ke kamar. Saya menempati kamar 857 bersama dengan seorang wanita yang baru saja selesai dioperasi siang harinya. Saya ditemani orang tua, adik, adik ipar saya. Dan disinilah saya jadi sedikit "manja" terhadap mereka. "Pusing... Dingin... Mau nonton, apakah bisa berikan saya remote control televisinya? Belum makan, lapar (memang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam)." Lalu, karena tidak ada yang menemani saya malam harinya, saya mulai beberapa kali menekan tombol "Nurse Call" dan mengeluhkan, "Tidak bisa tidur, sus... Salah bantal..." Apakah Anda membacanya dengan mencibir? Yah, saya sedang mengeluh. Saya sedang manja...
Tak dipungkiri, ketika dirawat inap, kita sebagai pasien memang merasakan sakit dan rasa tidak nyaman di sekujur tubuh. Walaupun kepala saya yang didagnosis sakit, tapi entah kenapa, bagian tubuh lain, seperti paha, leher, tangan, juga ikut merasakan nyeri. Seumpama tubuh ini mati rasa, membatasi ruang gerak saya yang biasanya dapat saya lakukan sendiri...
Saya bersyukur sempat mengobrol dengan teman sekamar saya di pagi harinya ketika kami breakfast -Anda ingat, wanita yang habis dioperasi ini?- Ia bercerita, bahwa sudah mulai dirawat inap sejak hari Minggu sore. Dan saat itu, rumah sakit betul-betul sangat sibuk, sampai-sampai semua kebutuhan ibu ini terlambat. Namun hebatnya, ia tidak mengeluh. Ditemani suaminya di kamar, ia yang terus-menerus mengingatkan perawat akan kebutuhannya. Dan menurutnya, selama masih bisa dilakukan sendiri, mengapa tidak?
Waktu mendengar hal itu saya jadi malu... Ya, meski tubuh ini sakit, bukan berarti kita jadi pity self (mengasihani diri sendiri). Bersyukurlah kita sudah dirawat, bersyukurlah untuk tempat tidur yang nyaman, perawat yang baik dan penuh perhatian, teman-teman yang memperhatikan, makanan yang diantarkan, dokter yang mengobati, dll. Semenjak itu saya berhenti pity self... Saya meyakinkan diri sendiri bahwa vertigo ini akan sembuh, tidak akan menghambat aktivitas saya lagi, dan saya akan keluar dari rumah sakit ini segera. Akhirnya, siang hari, setelah diperiksa dokter spesialis saraf, saya diijinkan pulang karena hasil-hasil tes dan kondisi kesehatan saya sudah jauh membaik.
Jangan ikuti rasa sakit itu... Jangan terus menuruti kehendak yang demikian... Miliki keyakinan Anda akan sembuh dan bisa beraktivitas seperti sediakala lagi. Dan itulah yang saya lakukan sekarang, menulis blog lagi dan melanjutkan kegiatan menulis saya, seperti biasanya.
Untuk kasus saya adalah tubuh saya, my health condition. Ketika dirawat inap di Siloam Hospitals Lippo Village tanggal 14-15 Desember 2015 lalu, akibat sakit vertigo infeksi telinga, ada beberapa pelajaran yang saya peroleh dari peristiwa ini.
Pertama, Bahwa kita tidak bisa membohongi tubuh sendiri.
Selasa lalu, tepatnya tanggal 8 Desember 2015, saya sempat dilarikan ke UGD (Emergency/Unit Gawat Darurat) oleh teman kantor karena kepala saya berputar tak keruan. Alangkah terkejutnya saya didiagnosa dokter, "Ibu terkena vertigo." What!? Saya resmi punya vertigo sekarang? Padahal saya sudah punya penyakit asma, tekanan darah rendah, mengapa ini jadi bertambah? Kemudian, dokter meminta saya untuk rawat inap, tapi saya menolak. Masa gara-gara sakit vertigo sampai dirawat inap segala. Akhirnya saya diperbolehkan pulang dengan obat resep dokter.
Berjalannya waktu, ternyata bertambah buruk. Puncaknya adalah pada hari Jumat (11 Desember 2015), saya mengalami gempa. Tapi hanya diri saya saja. Saya lihat sekeliling, bahkan air di botol minum pun tidak bergoyang sama sekali. Saya terpaksa ijin tidak masuk kantor hari itu. Merasa tidak enak, hari Seninnya saya memutuskan masuk kantor. Saya masih dapat bekerja, hingga pukul tiga sore, dunia saya berputar lagi. Saya sempat menyender dan memejamkan mata di pantry kantor, tapi sepertinya tidak terlalu berguna. Karena setiap orang yang lewat bertanya, "Kamu kenapa?" (yang sebenarnya ini bentuk perhatian dari mereka). Sampai saya tidak tahan lagi. Pada jam empat sore, saya dibawa kembali ke UGD. Kali ini saya pasrah. Alhasil, saya dirawat inap selama satu malam dan diharuskan istirahat satu minggu kemudian.
Sayalah penyebab semua ini. Seolah-olah saya berpikir akan kuat, memperlakukan tubuh ini layaknya kondisi normal. Padahal tidak, saya sedang sakit. Terkadang kita suka berpikir, "Tinggal sedikit lagi, perut saya dapat menahannya... Setengah jam lagi baru tidur, karena nanggung ini film-nya.... Seminggu ini belum berolahraga, tapi pasti saya bisa naik gunung atau jalan jauh..."
Bukannya tidak bisa, namun terkadang, kita memforsir tubuh sendiri untuk bisa mengikuti pikiran kita, rencana, aktivitas, dll. Hentikan... Anda mulai mengganggu diri sendiri! Mobil saja perlu beristirahat, padahal cuma sebuah mesin. Jangan paksa lagi... Dengarkan tubuh Anda. Karena Anda sedang tidak dibohongi di sini. Sayangi diri sendiri. Jangan sampai tumbang baru paham. Ini namanya "Kepalang tanggung," bukan "Mencegah lebih baik dari mengobati."
Kedua, Tidak memanjakan diri sendiri.
Saya paham, hal yang kedua ini terkesan kontradiktif dengan perihal pertama. Tapi ijinkan saya menjelaskannya.
Kembali ke kisah saya di UGD, saya akui kurang bersabar waktu itu. Saya sedikit mendesak perawat untuk segera mendatangkan dokter. Dokter spesialis saraf akhirnya datang dua jam kemudian, baru saya dipindahkan ke kamar. Saya menempati kamar 857 bersama dengan seorang wanita yang baru saja selesai dioperasi siang harinya. Saya ditemani orang tua, adik, adik ipar saya. Dan disinilah saya jadi sedikit "manja" terhadap mereka. "Pusing... Dingin... Mau nonton, apakah bisa berikan saya remote control televisinya? Belum makan, lapar (memang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam)." Lalu, karena tidak ada yang menemani saya malam harinya, saya mulai beberapa kali menekan tombol "Nurse Call" dan mengeluhkan, "Tidak bisa tidur, sus... Salah bantal..." Apakah Anda membacanya dengan mencibir? Yah, saya sedang mengeluh. Saya sedang manja...
Tak dipungkiri, ketika dirawat inap, kita sebagai pasien memang merasakan sakit dan rasa tidak nyaman di sekujur tubuh. Walaupun kepala saya yang didagnosis sakit, tapi entah kenapa, bagian tubuh lain, seperti paha, leher, tangan, juga ikut merasakan nyeri. Seumpama tubuh ini mati rasa, membatasi ruang gerak saya yang biasanya dapat saya lakukan sendiri...
Saya bersyukur sempat mengobrol dengan teman sekamar saya di pagi harinya ketika kami breakfast -Anda ingat, wanita yang habis dioperasi ini?- Ia bercerita, bahwa sudah mulai dirawat inap sejak hari Minggu sore. Dan saat itu, rumah sakit betul-betul sangat sibuk, sampai-sampai semua kebutuhan ibu ini terlambat. Namun hebatnya, ia tidak mengeluh. Ditemani suaminya di kamar, ia yang terus-menerus mengingatkan perawat akan kebutuhannya. Dan menurutnya, selama masih bisa dilakukan sendiri, mengapa tidak?
Waktu mendengar hal itu saya jadi malu... Ya, meski tubuh ini sakit, bukan berarti kita jadi pity self (mengasihani diri sendiri). Bersyukurlah kita sudah dirawat, bersyukurlah untuk tempat tidur yang nyaman, perawat yang baik dan penuh perhatian, teman-teman yang memperhatikan, makanan yang diantarkan, dokter yang mengobati, dll. Semenjak itu saya berhenti pity self... Saya meyakinkan diri sendiri bahwa vertigo ini akan sembuh, tidak akan menghambat aktivitas saya lagi, dan saya akan keluar dari rumah sakit ini segera. Akhirnya, siang hari, setelah diperiksa dokter spesialis saraf, saya diijinkan pulang karena hasil-hasil tes dan kondisi kesehatan saya sudah jauh membaik.
Jangan ikuti rasa sakit itu... Jangan terus menuruti kehendak yang demikian... Miliki keyakinan Anda akan sembuh dan bisa beraktivitas seperti sediakala lagi. Dan itulah yang saya lakukan sekarang, menulis blog lagi dan melanjutkan kegiatan menulis saya, seperti biasanya.
20 November 2015
My Word of the Day: ENJOY
Arti kata Enjoy (dari situs www.dictionary.com):
(dalam bahasa Indonesia dari KBBI, “nikmat”: enak, lezat, merasa puas,
senang, pemberian atau karunia dari Allah. “menikmati”: merasai (sesuatu yang
nikmat atau lezat), mengecap, mengalami (sesuatu yang menyenangkan atau
memuaskan)
- To experience with joy; take pleasure in
- To have and use with satisfaction; have the benefit of
- To find or experience pleasure for (oneself)
- To undergo (an improvement)
- To have intercourse with
Tidak hanya pekerjaan kita, kegiatan, teman-teman, suami/istri, tapi (yang lebih penting) kehidupan kita…
Do you enjoy it? Experience
your life with joy, take pleasure in (mengambil kesenangan dalam) kehidupan kita. Or don’t you?
Jika tidak, mungkin kita harus berhenti sejenak dan pikirkan. Melihat
dari pengertian di atas, apakah saya enjoy:
- Pekerjaan saya? Hal-hal yang saya lakukan di kantor, selama 8/9/10/12 jam per hari?
- Kegiatan/aktivitas saya? Hal-hal yang saya lakukan sepulang kantor, seperti gym, fitness, kursus/les (menari, menyanyi, dll)?
- Keluarga saya? Terlepas belum menikah, sudah menikah, baru menikah, orang-orang yang merupakan darah daging saya (ayah, ibu, beserta anak-anaknya)?
- Teman-teman saya? Orang-orang yang ada di sekeliling saya, baik yang dekat maupun jauh, seperti teman-teman kantor, sahabat, tetangga, teman rumpi, teman jalan, teman sos-med, dst?
- Pasangan saya/hubungan pasutri? Kekasih, tunangan, suami atau istri?
- Tidur saya? Apakah tidur nyenyak/pulas, kesulitan tidur, atau tidak bisa tidur sama sekali?
- Kebiasaan saya? Seperti nonton, baca, masak, shopping, ngopi, nongkrong, ngafe, nulis, makan, dst?
Let’s enjoy our life…
Langganan:
Postingan (Atom)